Khasiat Ganja dalam Kitab Tajul Muluk

Oleh
foto istimewa : kitab taju muluk

Asatu.top –  Pernyataan dari  T.A. Sakti yang dikenal sebagai dosen, penulis, pemerhati lingkungan serta ahli naskah kuno Aceh ini dilontarkan dalam sebuah dialog interaktif TVRI Aceh bulan Maret 2015 lalu. Dalam dialog tersebut hadir sebagai nara sumber adalah Kapolda Aceh, Kepala BNN Provinsi Aceh serta beberapa tokoh muda pemerhati narkotika di wilayah Propinsi Nangroe Atjeh Darussalam.

Pagi itu, 6 Mei 2015, saya berkunjung ke rumah sederhana T.A. Sakti. Rumah mungil yang asri dengan halaman cukup luas, kami ngobrol santai di sebuah “berugak” (bale – bale; saung) yang ada di pojok depan rumahnya. Disuguhkannya kami secangkir kopi dan kemudian mengalir diskusi kecil mengenai Kitab Melayu berjudul Tajul Muluk.

Kitab Tajul Muluk adalah sebuah naskah kuno yang berasal dari Arab, dibawa masuk ke Aceh oleh saudagar dan pedagang dari Persia serta Negeri Rum (Turki) sekitar abad ke-16. Naskah asli dari manuskrip kuno tersebut awalnya adalah tulisan tangan dengan menggunakan huruf dan bahasa Arab.

Tidak diketahui pasti kapan kitab tersebut ditulis, hanya saja diterangkan di dalam kitab yang sudah diterjemahkan ke tulisan Arab – Melayu tersebut, bahwa orang yang mengumpulkan naskah asli tulisan tangan ini adalah Haji Ismail Aceh.

Kemudian setelah terkumpul, beliau menterjemahkannya dalam bahasa Melayu dan tetap menggunakan huruf Arab dalam penulisannya. Kebetulan T.A. Sakti masih menyimpan naskah asli Tajul Muluk cetakan yang ke-3 tahun 1938.

Hampir semua naskah dan manuskrip kuno yang ada di rumahnya, terutama tentang Aceh, sudah diduplikasi oleh beliau dengan cara di foto copy dan laminasi. Hal ini mengacu pada kejadian bencana Tsunami yang terjadi di Aceh beberapa tahun lalu.

Tsunami telah mengakibatkan beberapa koleksi naskah kuno serta manuskrip yang ada di rumahnya rusak, beberapa masih bisa terselamatkan termasuk Kitab Tajul Muluk ini.

Mengenai isi dari Kitab Tajul Muluk itu sendiri adalah membahas tentang semua hal yang menyangkut sendi–sendi kehidupan manusia beserta alam sekitarnya, tidak hanya tentang pengobatan saja.

Dalam beberapa bab bagiannya juga dibahas tentang menentukan musim tanam untuk petani atau melaut untuk nelayan, kemudian mengenai hari baik untuk melakukan suatu hal, pengobatan, tuntunan perilaku serta budi pekerti yang positif dan masih banyak lagi.

Bahkan beberapa hal seperti yang ada di dalam budaya Cina juga dibahas di Tajul Muluk ini, seperti Hong Shui dan Feng Shui. Atau juga bahasan yang bisa kita jumpai di dalam Primbon Jawa, mengenai hari baik serta hitungannya dalam angka, tafsir mimpi dan lain sebagainya.

Pada dasarnya Tajul Muluk memang membahas masalah kehidupan, ini yang ditandaskan oleh T.A. Sakti dalam diskusi kecil kami saat itu.

Kemudian diskusi kami meruncing pada satu topik hangat, yaitu pengobatan tradisional yang salah satu bahannya memanfaatkan tanaman ganja. Pengobatan di dalam Kitab Tajul Muluk dibahas tersendiri dan terpisah pada sebuah bab.

Beberapa penyakit serta cara mengobatinya pun diterangkan dengan gamblang di sini, sangat detail. Mulai dari bahan obat yang digunakan, takaran hingga proses mengolahnya sampai cara menggunakan obat tersebut juga dijelaskan sangat rinci.

Sedikit yang membedakannya dengan dunia pengobatan modern adalah hanya terletak pada penamaan jenis penyakit. Misal, di dalam Tajul Muluk disebutkan nama penyakit “manis darah”, jika di dunia medis modern biasa disebut dengan “diabetes” atau “kencing manis”.

Pada bagian lain, T.A. Sakti juga membacakan isi salah satu resep pengobatan yang ada di dalam Kitab Tajul Muluk dan bisa digunakan untuk menjadi obat bagi semua “penyakit tua” (penj.: degeneratif).

Beberapa bahan obat yang disebutkan adalah lada hitam, jinten, gula batu, bunga Kanja (Ganja), Ofifum (Opium), dan sebagainya. Di halaman resep tersebut juga disebutkan takaran serta cara mengolahnya menjadi sebuah “majun” (pil bulat) serta aturan dosis pemakainnya.

Diskusi terus berlanjut dengan bahasan yang lebih luas lagi, kali ini tentang budaya pengobatan tradisional masyarakat Aceh di masa lampau dan yang masih terus berlangsung hingga saat ini serta masih dipraktekkan. Menurut T.A. Sakti, pengobatan tradisional menggunakan ganja di Aceh masih ada hingga saat ini.

Salah satu contohnya adalah untuk mengobati penyakit “manis darah”, masyarakat di sana menggunakan bagian akar dari tanaman ganja dengan cara direbus menggunakan air kemudian diminum. Belum lagi dengan pemanfaatan lainnya, misal untuk penyedap masakan dan mengempukkan daging menggunakan biji ganja.

Hal tersebut sudah berlangsung turun temurun dan menjadi bagian kehidupan masyarakat Aceh yang selama ini samar terdengar, sudah lumrah di telinga awam tetapi terkesan tabu untuk dibicarakan di khalayak umum. T.A. Sakti meyakini bahwa diluar Tajul Muluk sebenarnya masyarakat Aceh sudah mengenal budaya ganja ratusan tahun silam serta sangat paham tentang pembenargunaannya

Komentar

Loading...