Kisah Nek Tiaman, Bos Wirataco dan Tanoh Kayee Uno

Oleh
Nenek tiaman bersama cucunya Dikediaman, Selasa Malam 17 April 2019

Nagan Raya, Asatu.top - Siti Nurhasyifa, 2 tahun, asik bermain plastik kosong bekas kemasan madu TJ. Sekali-kali dia tekan dan di ketuk agar riuh.

Maklum, Nenek Tiaman selama ini kerap mengkomsumsi serat bunga tanaman yang di eram lebah untuk menjaga kesehatan di usia senja.

"Dulu madu lebah mudah di dapat karena di petik di Batang Seumantòk di Alue Labu. Kini Bak Kayee Uno itu sudah di tebang jadi kebun sawit Haji Tito," kata Tiaman di Rumahnya di Gampong Alue Siron, Kec Tadu Raya, Nagan Raya, Rabu 19 Juni 2019.

Nek Tiaman menjelaskan, pada tahun delapan puluhan sebelum konflik GAM-RI melanda Aceh. Para Pawang Uno bersama suaminya Almarhum Ismail bersama Pawang Geunang, Pawang Zainun bersama pawang lain kerap berkumpul di rumahnya. Kala itu mereka tiap enam bulan sekali memetik madu lebah di hutan Alue Jambee di kawasan Gampong Alue Labu.

Untuk tiba di sana, mereka menggunakan sampan papan melintasi Krueng Itam. Dan sebagian lainnya memilih jalan kaki dipinggir sungai sambil membawa bubu ikan dan jaring.

Alhasil, madu yang dipetik itu menjadi obat-obatan bagi masyarakat Aceh Barat dan sekitarnya.

Memasuki era 1990, seorang pengusaha AR Rasyidi masuk ke wilayah Tadu ingin menguasai tanah untuk perkebunan sawit. Akhirnya, Almarhum Keuchik Alue Labu, M Hajem membuat surat tanah seluas 10 hektar di kawasan Kayee Uno Bak Seumantok agar tidak di kuasai dan di babat agar ditempati lebah untuk obat-obatan.

Menurut Nek Tiaman, memasuki era konflik antara GAM dan TNI, keluarga Nek Tiaman pergi mengungsi ke desa tetangga di Cot Mee. Selama beberapa tahun di tempat pengungsian, kemudian Gempa dan Tsunami melanda dirinya bersama keluarga hingga meninggal dunia suaminya, Ismail dan anaknya Ridwan dan Khairuman yang sedang melanjutkan kulyah di Banda Aceh.

Setelah melanglang buana di kampung orang hingga Beutong, Tiaman bersama warga lain memilih kembali ke Alue Siron dan membersihkan perkarangan rumah yang telah di tumbuhi pohon.

Usai konflik pula perusahaan Haji Tito menguasai tanah dengan harga murah untuk membangun perkebunan sawit, sekaligus melakukan land clering tanah 10 Ha milik Ismail suami Nek Tiaman di Kawasan Kayee Uno Gampong Alue Labu.

Saat tanah itu dikuasai Haji Tito, sempat terjadi keributan hebat. Aji, seorang anak Nek Tiaman dan santri Dayah Serambi Aceh kala itu, melakukan tindakan persuasif dengan Haji Tito.

"Tidak apa. Aman tanah itu. Kamu teruslah mengaji karena di dayah itulah yang benar-benar mengaji," tutur Teuku Alaidinsyah kepada Aji di kediamannya.

Kala itu, Teuku Alaidinsyah sedang berupaya maju sebagai kandidat Bupati Aceh Barat. Kala itu pula Pimpinan Dayah Serambi Aceh, Abu H Mahmuddin Usman mengajak santrinya berdoa demi kemenangan Haji Tito.

Meski Bos Wirataco mempunyai niat baik hendak menyelesaikan tanah 10 Ha di Kayee Uno Alue Labu, namun pekerja di lapangan terus menggarapnya dan menanam pohon sawit. Itu sebabnya, Nek Tiaman mengirim pesan melalui wartawan terhadap Haji Tito.

Nek Tiaman berharap orang terkaya di Aceh Barat itu agar bijaksana melakukan penyelesaian tanahnya seluas 10 Ha milik Almarhum Ismail, mendiang suaminya.

"Kepada wartawan, tolong sampaikan salam saya kepada Haji Tito agar beliau tahu dan bijaksana untuk tidak menggarap tanah kami di Alue Labu," kata Tiaman di kediamannya di Gampong Alue Siron.

Nenek difabel ini berharap pesannya dibaca Haji Tito agar tergugah hatinya untuk menyelesaikan tanahnya yang telah di tanami kelapa sawit di Alue Labu

Komentar

Loading...