Perlindungan Perempuan Di Indonesia Seperti Apa?

Oleh
Tamara Faradilla anggota KPW SMUR Aceh Utara

Opini, Asatu.top - Komnas Perempuan mencatat telah terjadi 2.500 kasus kekerasan terhadap perempuan pada periode Januari-Juli 2021. Angka itu melampaui catatan 2020 yang tercatat 2.400 kasus.

Ketua Komnas Perempuan menyebutkan kasus kekerasan terhadap perempuan kembali mengalami peningkatan selama pandemi Covid-19. Hanya dalam enam bulan pada 2021, kasus sudah melebihi total kasus tahun sebelumnya, total kasus pada 2020 tersebut meningkat hingga 68 persen dibanding 2019.

Komnas Perempuan mengenali setidaknya ada 14 jenis kejahatan terhadap seksual yang harus diwaspadai, diantaranya:
perkosaan, pelecehan seksual, eksploitasi seksual, penyiksaan seksual, perbudakan seksual, intimidasi, ancaman dan percobaan perkosaan, prostitusi paksa, pemaksaan kehamilan, Pemaksaan aborsi, pemaksaan perkawinan, perdagangan perempuan untuk tujuan seksual, kontrol seksual seperti pemaksaan busana dan deskriminasi perempuan lewat aturan, penghukuman tidak manusiawi dan bernuansa seksual, dan praktik tradisi bernuansa seksual yang membahayakan perempuan.

Dari tata kelola pemerintahan yang amburadul sehingga mengakibatkan hak atas perempuan sering direnggut hanya kerena perempuan sering dianggap manusia yang lemah, padahal jika kita merujuk pada hak dasar manusia yang telah termaktub dalam UUD 1945 bahwa hak atas manusia sama di mata hukum tidak ada perbedaan, budaya patriarki yang seharusnya harus di munaskan sejak dahulu jangan sampai masih tertanam dalam tubuh patriarki yang menghisap kaum perempuan.

Kekerasan seksual lagi bertebaran dimana mana, bahkan diruang lingkup kampus juga ada terdapat kekerasan seksual. Seperti kasus yang lagi memanas yaitu kampus UNRI seorang dosen mencium mahasiswa bimbingannya tetapi dosen tersebut tidak mengakui perbuatan kejinya.

Hal tersebut harus ditindak lanjuti dengan serius , agar tidak ada lagi kekerasan seksual terhadap kaum perempuan di ruang lingkup kampus. Kekerasan seksual terhadap perempuan berakar dari sistem tata nilai yang mendudukan perempuan itu sebagai makhluk yang lemah dan rendah.

Kemudian juga berdasarkan penjelasan feministik, dimana kekerasan/pelecehan seksual terhadap perempuan merupakan produk struktur sosial dan sosialisasi dalam masyarakat yang mengutamakan dan menomor-satukan kepentingan dan perspektif laki-laki, sekaligus menganggap perempuan sebagai jenis kelamin yang lebih rendah dan kurang bernilai dibandingkan laki-laki.

Berbagai dampak yang akan ditimbulkan dari para korban kekerasan seksual,
Pertama, dampak psikologis si korban, yang pasti nya si korban akan mengalami trauma berat akan peristiwa yang dia alami tersebut.

Kedua , Dampak fisik si korban pada kekerasan seksual tersebut. Seperti Infeksi atau pendarahan pada vagina atau anus, Terkena penyakit menular seksual (PMS), seperti clamidia, herpes, hepatitis, dan HIV.

Ketiga, Selain memengaruhi mental dan fisik si korban, tapi memengaruhi dampak sosial si korban. Di mana si korban mulai Susah mempercayai orang lain, sulit berinteraksi kepada orang lain, seperti mengasingkan dirinya sendiri.

Prinsip dasar kewajiban negara untuk melindungi kaum perempuan yaitu :
*Menjamin hak perempuan melalui hukum dan kebijakan, serta menjamin hasilnya.
*Menjamin pelaksanaan praktis dari hak tersebut melalui tindakan atau aturan khusus sementara.

*Negara tidak hanya menjamin (de jure) tetapi juga merealisasikan hak perempuan (de facto) *Negara tidak hanya bertanggung jawab disektor publik tetapi juga melaksanakannya terhadap tindakan orang dan lembaga disektor privat.

Memang ada kasus kekerasan terhadap kaum perempuan yang dapat dijaring dengan pasal-pasal kejahatan, namun hanya terbatas pada tindak pidana umum dan dirumuskan dalam pengertian yang sangat terbatas—misalnya, pada pasal 89 KUHAP, dinyatakan bahwa membuat orang pingsan atau tidak berdaya disamakan dengan menggunakan kekerasan. Rumusan tersebut jelas hanya membatasi perilaku kekerasan pada perilaku fisik belaka.

Ketentuan pidana yang secara khusus menyebut kaum perempuan sebagai korban hanyalah ada pada pasal 282 tentang perkosaan, pasal 347 tentang pengguguran anak tanpa seizin perempuan yang bersangkutan, pasal 297 tentang perdagangan perempuan, dan pasal 332 tentang melarikan perempuan. Sejumlah tindak kekerasan fisik lainnya tidak diberi sanksi pidana.

Hukum nasional yang berlaku untuk menuntut kejahatan dan pelanggaran di sektor publik, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ( KUHP), yang masih kurang efektif karena belum ada pengaturan tentang kasus KDRT atau kekerasan terhadap perempuan lainnya—misalnya kasus kekerasan seksual oleh suami terhadap isteri—sampai saat ini belum dianggap sebagai kejahatan, atau kekerasan seksual terhadap anak masih dikategorikan sebagai cabul sehingga ancaman pidananya juga masih sangat ringan.

Hak kaum perempuan belum mendapat perlindungan hukum secara menyeluruh. Persoalan kaum perempuan kini telah menjadi perhatian dunia internasional sehingga Indonesia sebagai bagian dari dunia internasional juga dituntut untuk menyesuaikan dengan perkembangan global.

Penulis,
Tamara Faradilla anggota KPW SMUR
LSM -ACUT

Komentar

Loading...