Matinya Pendidikan di Perguruan Tinggi

Oleh
Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi, Fakultas ISIP, Universitas Malikussaleh.

Asatu.top - Mencerdaskan kehidupan bangsa, mungkin kata tersebut sudah sering didengarkan dan diucapkan semenjak dari SD sampai sekarang ini, namun belakangan ini banyak terjadi hal-hal yang membuat kita kembali mempertanyakan apakah tugas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa itu sudah terlaksana, dan sejauh mana sudah dijalankan.

Dalam beberapa waktu terakhir, sering kita dapati di dunia pendidikan terkhususnya di Pendidikan tinggi, hal hal yang sebenarnya telah kita tinggalkan semenjak proklamasi kemerdekaan dibacakan, yaitu pendidikan yang berwatak feodalisme dan kolonialisme.

Sudah menjadi cita-cita kita bersama bahwa pendidikan di Indonesia harus bercirikan keadilan dan kesetaraan bagi seluruh rakyat Indonesia, namun jika kita berkaca pada kenyataan yang terjadi hari ini, apakah mungkin kesetaraan dan keadilan itu dapat kita wujudkan didalam dunia pendidikan?

Bangsa kita sudah pernah menanggalkan feodalisme dan kolonialisme serta membangun kesadaran akan kemerdekaan, hal itu berlaku juga terhadap dunia Pendidikan, upaya tersebut seharusnya dapat membawa dunia pendidikan kita kearah yang lebih humanis, sehingga watak kemunafikan, feodal, dan jiwa yang lemah dapat sirna dan membawa keadilan serta kesetaraan.

Pendidikan pada dasarnya memiliki tugas Untuk membangun akal sehat dan berpikir kritis, kejujuran dan keobjektivan menjadi landasan demi tercapai kata akademik yang sesungguhnya.

Pembungkaman secara masif dan terstruktur.

Dapat kita pertanyakan kembali, mengapa pihak birokrasi kampus sering tidak pernah mau berdialog secara terbuka ketika para mahasiswanya mempertanyakan tentang suatu hal, alih alih untuk menjumpai, justru surat cinta (Surat panggilan) yang dilayangkan kepada setiap mahasiswa yang melakukan protes, dari sini saja kita bisa melihat ada satu hal yang membuat para birokrasi takut untuk menjumpai dan berdialog secara terbuka, apakah yang membuat mereka takut? Biar itu menjadi pertanyaan bagi kita semua.

Paulo freire dalam bukunya "Pendidikan kaum tertindas" disebutkan bahwa pendidikan pada dasarnya ialah sarana pembebasan, oleh karena itu pendidikan haruslah berwatak humanisasi, masih oleh Paulo freire dalam buku sekolah kapitalisme yang licik juga disebutkan "ketika Pendidikan khususnya pendidikan tinggi sudah berada di level pembahasan tentang mempertahankan kekuasaan, maka segala lini dari pendidikan itu hanya berisi dengan penghisap dan penindasan, karena ada satu pihak yang superpower ingin mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara.

Jika benar seperti apa yang pernah ditulis oleh Paulo freire tersebut, sangat kita sayangkan bahwa pendidikan di perguruan tinggi sudah melompat jauh kebelakang, kembali kepada watak feodalisme dan kolonialisme.

Ketika hal tersebut terjadi, maka setiap gerak mahasiswa akan dikekang dengan kata "etika", benar memang bahwa diatas ilmu dan hukum ada etika, namun etika dikalangan feodal dibentuk sedemikian rupa menjadi alat kekangan, sopan santun menurut mereka, dan haruslah menaruh hormat kepada mereka, atau dengan kata lain kita dibentuk menjadi searah sehingga hal ini hanya menguntungkan mereka yang berada diatas dan berkuasa serta mempermudah mereka untuk mempertahankan kekuasaan, hal inilah yang kemudian membuat ketidakseimbangan.

Banyak kita dapati karakter kuat yang dimiliki oleh mahasiswa namun oleh mereka para birokrasi telah menganulir hal tersebut, Rektorat menekan pihak dekanan, dekan menekan prodi sehingga prodi menekan mahasiswa yang memiliki karakter kuat yang pada dasarnya karakter seperti itulah yang dicita-citakan oleh pendahulu kita.

Antonio Gramsci menjelaskan gejala ini adalah akibat dari penguasaan (hegemoni) yang terlalu kuat dan pada saat yang bersamaan tidak adanya perlawanan atas penguasaan (kontrahegemoni) tersebut. Keadaan ini dapat kita lihat dengan teorinya Michel Foucault yaitu teori disciplinary power dan govermentality. "Disciplinary Power" adalah kekuasaan yang dijalankan terhadap tubuh dengan membentuknya menjadi tubuh yang patuh dan berguna melalui penjejalan atau pemenangan narasi pengetahuan atau biasa disebut dengan "Rezim pengetahuan" yang masuk kedalam pikiran seseorang, sedangkan "Govermentality" adalah perluasan kekuasaan dari disciplinary power. Jika disciplinary power menyasar tubuh ragawi seseorang, maka govermentality menyasar tubuh sosial orang banyak.

govermentality adalah bentuk pembenaran (rasionalisasi) dari bagaimana kekuasaan itu dijalankan oleh birokrasi agar bekerjanya kekuasaan atas mahasiswa yang dikuasai dapat diakui dan diterima begitu saja tanpa melahirkan perlawanan dari mereka.

Kampus sebagai dunia yang bersih.

Kampus sebagai dunia pendidikan yang bersih dan memiliki tujun mulia dalam membentuk karakter bangsa yang kuat, jujur, serta adil, slogan-slogan diatasi seperti menjadi hal kosong disebabkan oleh perilaku para birokrasi, jargon tersebut menjadi kosong karena perilaku yang ditunjukkan tak lebih dari kemunafikan.

Kenapa? Karena perilaku KKN (korupsi kolusi dan nepotisme) semakin hari semakin nampak di dalam kampus oleh mereka yang pada dasarnya mengemban tugas mulia yaitu sebagai seorang pendidik.

Kasus korupsi makin banyak melibatkan pejabat kampus. Plagiarisme sulit dibendung dan dilakukan oleh calon sarjana hingga rektor dan profesor. Integritas kampus makin banyak dipertanyakan saat gelar akademik diobral dan pembelinya adalah mereka yang paling kaya dan paling berpengaruh secara ekonomi dan politik.

Kasus KKN didalam kampus seperti kentut, ia tercium tapi tak teraba, sehingga mereka para penegak hukum kerap kali menjadikan kentut tersebut sebagai alasan : karena tak dapat dibuktikan maka tak bisa kita tindak.

Seperti tulisan pak Saiful Mahdi, salah satu dosen yang dipidanakan karena berani melawan kezaliman, saya tertarik dengan yang beliau tulis, kurang lebihnya begini
"Aparat penegak hukum kita bukan hanya dipertanyakan integritasnya. Berbagai kasus hukum dan etik justru dilakukan oleh anggota kepolisian, kejaksaan, dan kehakiman. Kapasitas dan profesionalismenya juga dianggap bermasalah. Salah satu penyebabnya adalah paradigma pendidikan hukum di Indonesia yang tidak holistik. Fakultas hukum telah menjadi sekedar fakultas perundang-undangan.

Maka sangat menyedihkan melihat mereka yang seharusnya paham akan hukum namun tidak bertindak sesuai hukum, jika feodalisme yang semakin kuat mengakar dan bertemu dengan watak yang lemah serta munafik maka itu akan menjadi tempat ternyaman bagi tumbuh dan berkembangnya KKN.

Hal paling pahit justru terjadi ketika Kritik dilayangkan namun pembungkaman yang menjadi balasan, Tan Malaka pernah mengatakan bahwa jika Ilmu pengetahuan tak bisa lagi dikritik maka matilah ilmu pengetahuan tersebut, hal ini membuat pendidikan kita melompat jauh, bukan ke depan namun ke belakang, sebelum era kemerdekaan, kembali ke zaman penjajahan. Feodalisme yang mengakar akan menghambat cita-cita kita untuk pembebasan, keadilan dan kesetaraan, jika kita hanya tinggal diam dan hanya menyaksikan maka dapat kita berikan hening cipta kepada matinya dunia pendidikan yang kita cita-citakan

Universitas sebagai agen moral.

Peran emansipatoris universitas dan intelektual publik sekarang ini telah menjadi yatim dalam institusi pendidikan, karena para pendidik tidak bisa lagi membedakan yang mana tempat politis praktis dan yang mana dunia pendidikan itu sendiri.

Dalam realitas di perguruan tinggi sekarang, alih alih kita mau melihat para intelektual organik, justru yang banyak kita jumpai yaitu para intelektual tradisional, dimana mereka melangsungkan hegemoni akan kekuasaan mereka sehingga mereka bisa melenggang jauh dari peran pembebasannya.

Gramsci merumuskan bahwa setiap hubungan pendagogis mengandung hubungan hegemonik; hubungan pendagogis melibatkan hubungan kekuasaan dan dominasi, tapi dominasi tidak dipahami secara ekslusif sebagai paksaan dan pada dasarnya sebagai konsensus atau bentuk penaklukan terhadap keinginan kelas atau massa subordinatif.

Dari perspektif Gramsci atau bila kita menggabungkan gagasan Gramsci dengan rumusan Paulo freire, kita perlu bertanya pada diri sendiri, apa proyek pembaruan intelektual dan moral yang akan dibentuk oleh perguruan tinggi? Atau mungkin pendidikan sekarang ini adalah reproduksi ideologis kelas dominan, reproduksi kondisi-kondisi untuk memelihara kekuasaan mereka?

Jika benar maka suatu pembaruan perlu dilakukan di pendidikan tinggi, agar pendidikan benar benar berfungsi sebagai pencerdasan bagi bangsa ini.

Penulis

Mahasiswa jurusan Ilmu komunikasi, fakultas ISIP, Universitas Malikussaleh.

Komentar

Loading...