Opini

Pelajaran Tambahan untuk Senator

Oleh
Pegiat Sosial dan Budaya Aceh, Nasrijal (Asatu.top/kontributor)

TAK berbilang hari setelah saya menanggapi pendapat Fachrul Razi, Wakil Ketua Komite I DPD RI tentang pernyataannya dalam video pendek berjudul "Mengosongkan Masjid Akibat Corona adalah Pikiran yang Tidak Sehat," langsung disambut oleh Sang Senator yang terhormat. Yaitu berupa rilisan berjudul; Senator Fachrul Razi, Nasrijal Yang Gagal Paham.

Sembari mengulum senyum saya menyimak dengan seksama semua pernyataan balasannya. Sampai-sampai saya menduga bahwa Senator yang satu ini sepertinya punya sesat pikir berlebih. Agar lebih terang dugaan saya ini, berikut saya akan mencoba mengupas beberapa pernyataannya berikut ini.

Selamat menyimak!

Fachrul Razi menjelaskan dalam video tersebut bahwa pemerintah terlalu tidak sehat dalam mengambil kebijakan tanpa mengkaji secara objektif. Menurut Fachrul Razi bahwa daerah yang masih aman dengan endemi corona dapat menjalankan ibadah tanpa harus menutup dan mengosongkan mesjid sementara bagi daerah yang endemi coronanya tinggi, silahkan pemerintah melakukan isolasi dan pembatasan kegiatan di daerah tersebut.

Itu paragraf saya salin utuh, dan tampak dengan sangat jelas dari mana dugaan saya sebelumnya punya ihwal. Menyatakan pemerintah tidak mengkaji secara objektif adalah hal yang terlalu mengada-ada dan sesat pikir. Lantas di kalimat keduanya dengan jelas menampakkan bagaimana seorang Fachrul Razi sama sekali kurang update (baca: tidak tahu berita terkini daerah kelahirannya sendiri).

Berbilang tanggal 25 Maret ia masih mengatakan bahwa Aceh aman dari Covid-19, padahal dengan sekali klik tautan akun instagram RSUDZA. Aceh kita langsung bisa mendapati info bahwa per tanggal 24 Maret 2020 di Aceh sudah terpapar Covid-19, sebanyak 37 orang dengan status PDP dan 12 orang berstatus ODP, ditambah dengan seorang PDP yang meninggal dunia.

Di likot nibak nyan, penggunaan kata endemi secara berulang dalam rilisannya adalah petunjuk lain kalau Fachrul Razi sama sekali tidak paham dengan apa yang dibicarakannya. Ia tidak dapat membedakan antara endemi dengan pandemi. Yang terjadi saat ini adalah pandemi, bukan endemi. Sekali lagi: pandemi, bukan endemi. Bedanya di mana? Boleh googling sendiri, membacalah.

“Disaat Majelis Permusyawaratan Ulama Provinsi di Aceh mengeluarkan himbauan agar menjadikan masjid dan menasah tempat beribadah sebagaimana sependapat dengan pernyataan saya, bahkan imbauan ini diikuti dengan MPU Aceh Barat, dan kabupaten lainnya, hingga Aceh Tenggara, tapi muncul statement aneh dari seseorang yang mengklaim dirinya pegiat Sosial Budaya Aceh, Nasrijal, mengkritisi pernyataan saya."

Mengada-ada sekali. Setidaknya itulah yang saya tangkap dari pernyataannya dalam paragraf yang saya kutip di atas. MPU Aceh tidak pernah mengeluarkan himbauan ataupun kebijakan dalam bentuk lain terkait pengosongan tempat ibadah. Kecuali Wakil MPU Aceh hanya memberikan pernyataan dan menyarankan bahwa masyarakat yang kurang sehat sebaiknya beribadah di rumah saja. Di sini terlihat jelas Fachrul Razi juga tidak bisa membedakan antara kebijakan dengan pernyataan. Memang Wakil MPU Aceh pernah mengeluarkan pernyataan, dan ini tentu saja belum menjadi fatwa MPU Aceh.

Menurutnya kalau pernyataannya perlu tes jiwa berarti Nasrijal juga menghina Ulama Aceh yang mengeluarkan himbauan tetap melaksanakan ibadah di Aceh.

Ayolah. Seorang senator tidak seharusnya tampak kekanak-kanakan begini. Masa iya, saya yang hanya mengkritik pernyataan Fachrul Razi langsung dianggap menghina ulama Aceh?

Beribadah tentu tetap harus dilakukan dalam segala kondisi. Namun untuk saat ini berkerumun adalah tindakan yang membahayakan karena dapat menjadi sarana penyebaran virus Corona. Tentang hal ini, mungkin apa yang telah terjadi di Malaysia bisa dijadikan pelajaran. Sungguh pun, merujuk dengan apa yang saya sampaikan di kritikan sebelumnya, dengan jelas saya mengacu pada upaya-upaya yang pernah dilakukan sahabat Nabi dalam mencegah wabah. Pertanyaannya, apakah dengan mengambil rujukan sahabat nabi sama dengan menghina ulama? Maka dari itu, Fachrul Razi tidak perlu mencoba menyejajarkan diri dengan ulama.

Wakil Ketua Komite I DPD RI, Fachrul Razi mengatakan bahwa yang harus dilakukan pemerintah pusat adalah menutup akses masuk bagi penderita positif Corona dengan cara lockdown sehingga menurutnya, masyarakat yang belum tersentuh dengan endemi Corona dapat melakukan ibadah di Mesjid dan melakukan doa tolak bala.

Mengamankan suatu daerah dari bahaya Covid-19, dari apa yang saya baca-baca, mestilah dilakukan dengan banyak cara dan pelaksanaannya pun harus berbarengan. Melakukan lockdown adalah satu solusi, tapi di sisi lain menganjurkan masyarakat untuk saling jaga jarak, social distancing, atau apalah istilah keren lainnya adalah keharusan yang tak bisa ditolak dengan semena-mena. Bahwa yang harus diisolasi itu tidak hanya orang yang sudah terpapar Covid-19, tapi juga semua orang dianjurkan untuk melakukan karantina mandiri. Apakah senator tidak mengerti tentang hal ini?

Saya anggap itu hal biasa kalau dia kritik saya, silahkan saja berpendapat. kalau dia dukung pemerintah yang silahkan saja tapi Ulama dan masyarakat di Aceh biarkan tetap beribadah di Mesjid, jangan dipaksa tutup mesjid dan kosongkan Mesjid, silahkan pemerintah tutup saja tempat hiburan dan kafe-kafe dulu, jangan mesjid dulu, ada apa ini."

Dalam kritik sebelumnya, jelas bahwa saya tidak pernah berpendapat agar pemerintah mengeluarkan anjuran tutup atau mengosongkan masjid. Namun pernyataan senator 'bahwa mengosongkan masjid akibat korona adalah pikiran yang tidak sehat,' justru pikiran semacam itulah yang tidak sehat. Terutama di tengah situasi darurat pandemi (ingat: bukan endemi) Covid-19. Senator sebaiknya melihat juga bagaimana dunia menyikapi krisis ini. Barangkali dalam hal ini, khusus dalam waktu dekat ini, sekira lewat dari petugas imigrasi, Senator perlu pergi umrah ke Arab Saudi, hitung-hitung belajar sambil beribadah.

Fachrul Razi juga memberikan apresiasi kepada Pemerintah Aceh dan Kota Banda Aceh setelah dirinya kritik kafe-kafe masih di buka, akhirnya keluar imbauan pemerintah Aceh dan Banda Aceh untuk menutup kafe-kafe.

Ini pernyataan cari panggung. Main klaim untuk cari untung. Sama halnya dengan janji lama Anda untuk mendirikan Kantor PBB di Aceh. Sudahkah itu terwujud? Untuk perangai beginian, saya teringat kheun ureueng tuha:

Seolah-olah pada pernyataannya itu, Pemerintah Kota Banda Aceh baru terbuka hatinya untuk melakukan upaya-upaya pencegahan Covid-19 setelah kena kritik dari Fachrul Razi seorang. Tapi lucunya, keuntungan yang hendak dicoba keruk Sang Senator terhormat (t huruf kecil) dilakukannya di tengah-tengah beredarnya surat edaran Plt. Gubernur Aceh Nomor 440/5242 tanggal 22 Maret 2020 tentang menutup sementara tempat keramaian, dari satu grup WhatsApp ke grup WhatsApp yang lain.

Saya kira dengan beberapa pernyataan dalam rilisan seorang senator terhormat yang telah coba saya tanggapi berdasarkan pengetahuan umum semata itu, cukuplah jadi contoh sampai sejauh mana kemampuan berpikir Fachrul Razi. Dan jika masih diberi kelapangan ruang untuk menyampaikan kritik dan saran, tanpa harus mengulik pernyataan lebih lanjut rilisannya itu, sebaiknya seorang senator lebih bijaksana dalam menanggapi bencana kemanusiaan global ini.

Adapun saran yang saya maksud, sambil mengkarantina diri di tempat yang entah di mana, ada baiknya Fachrul Razi banyak-banyak membaca sembari perbanyak pula istighfar. Cari panggung di tengah bencana hanya dengan berwacana adalah seburuk-buruk usaha. Atau jika ada sigeutep-dua geutep peng leubeh, kenapa tidak kirim donasi untuk teman-teman di Aceh yang sedang perlu modal meracik hand sanitizer agar bisa dibagi-bagi gratis. Laen nibak nyan (lom), jika memang senator ingin melindungi Aceh, maka tolong prioritaskan rapid test untuk masyarakat luas, bukan malah hanya untuk Anda dan teman-teman anda saja di Gedung DPR sana.

Mungkin dengan ikhtiar semacam itu, Fachrul Razi akan lebih bermanfaat dan klaim hak melindungi Aceh dari Corona bisa benar-benar terealisasi secara nyata. Bukan di mulut saja.

Nasrijal, Pegiat Sosial dan Budaya Aceh.

*Opini murni isi pikiran penulis.

Komentar

Loading...