Sore itu, Yati menutup kisahnya dengan kalimat “Soal tanah, adalah soal darah. Ini masalah kehidupan kami yang hendak dirampas Rapala. Perjuangan tak akan berhenti sampai disini,”

Kak Yati, Sosok Lantang dari Tamiang

Oleh

DIATAS balai panggung yang terbuat dari kayu seluas 15x10 itu duduk sepuluhan ibu-ibu. Beberapa diantaranya terlihat sibuk bengcengkrama, sementara yang lainnya sedang mengisi absensi kehadiran. Salah seorang ibu-ibu berkerudung merah marun nyeletuk demi melihat jam di tangannya telah menunjukkan pukul 17.00 WIB, tidak lama lagi waktu berbuka puasa. Perempuan tambun bernama Yati, atau akrab disapa Kak Yati memberi aba-aba agar diskusi segera dibuka.

Hari itu, Kak Yati bersama ibu-ibu yang ada di desanya akan melakukan pertemuan rutin.Diskusi bulanan untuk membahas persoalan sengketa penguasaan lahan antara desa mereka dengan perkebunan kelapa sawit PT Rapala, serta posisi kelompok marjinal, khususnya perempuan dalam masalah tersebut.

Diskusi tampak hangat. Para peserta diskusi yang semuanya adalah ibu-ibu semangat mengajukan pertanyaan, khususnya seputar masalah konflik pertanahan, tidak sedikit pula yang bertanya soal pengertian gender dan ruang lingkupnya.

Pertanyaan-pertanyaan tersebut ditanggapi dengan sabar oleh Kak Yati, fasilitator yang juga pemateri diskusi.

Hampir satu jam lamanya diskusi itu berlangsung. Sementara penulis sabar menonton jalannya diskusi, menunggu sang narasumber, Yati.

Yati atau akrab disapa Kak Yati, bernama panjang Sri Hariyati, kelahiran 31 Januari 1977. Di desa kelahirannya, juga tempatnya tinggal saat ini, ia dikenal keras menyuarakan "perlawanan" terhadap PT Rapala, perusahaan yang menurutnya hendak mengusir dirinya dan puluhan Kepala Keluarga lainnya dari desa mereka.

Keberaniannya itu, membuat ia dipercaya sebagai bendahara Aliansi Masyarakat Gerakan Rakyat Boikot Rapala (Gebok Rapala), sebuah organisasi non formal yang dibentuk warga Desa Perkebunan Sungai Iyu, Kecamatan Bendahara, Kabupaten Aceh Tamiang.

Desa Perkebunan Sungai Iyu merupakan kampung yang terletak di dalam kawasan perkebunan PT Parasawita. Pada 2013 silam perusahaan ini mengalihkan Hak Guna Usaha (HGU) dan asetnya kepada PT Rapala akronim dari Raya Padang Langkat.

Pengalihan tersebut sesuai dengan surat No. 5002-5003/14.3-300/XII/2013 tertanggal 9 Desember 2013, dan berdasarkan Akta Jual Beli No. 808/2013 Tanggal 14 Desember 2013 dan telah didaftarkan balik nama sertifikatnya  pada Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Tamiang pada Tanggal 20 Desember 2013

Hal inipulalah yang menjadi pemantik konflik antara desa Perkebunan Sungai Iyu dengan PT Rapala.

Betapa tidak, menurut pengakuan ibu 41 tahun ini, selain mengklaim secara sepihak bahwa desa mereka berada dalam kawasan HGU perusahaan,  PT Rapala juga berusaha mengusir warga dari desanya sendiri.

Di sisi lain, banyak diantara karyawan yang sebelumnya bekerja di bawah naungan PT Parasawita, tidak dipekerjakan kembali oleh PT Rapala.

"Alasan awal dari PT Rapala bahwa pihak perusahaan tidak menerima karyawan PT Parasawita, sebab yang dialihkan hanya sebatas areal perkebunan dan tidak termasuk karyawannya yang sebagai warga masyarakat," kata Yati kepada Portal Satu diakhir diskusi, Minggu (20/5/2018), seraya menambah bahwa ia dan suami sempat bekerja sebagai buruh harian lepas di perusahaan sebelumnya, PT Parasawita. Saat ini ia dan keluarga bekerja seadanya.

Pasca peralihan aset PT Parasawita kepada PT Rapala, semua karyawan yang berusia diatas usia 35 tahun tidak diterima bekerja seperti sebelumnya, disisi lain, pihak PT Parasawita tidak pernah memikirkan nasib para karyawannya yang telah berusia diatas 35 tahun yang kini statusnya terkatung-katung.

Persoalan ini, kata dia, sudah pernah dibawa ke level kabupaten hingga nasional.

"Pada Desember 2012 dan 2013, kita dan warga melakukan aksi di kantor Bupati Aceh Taming, kantor DPRK Aceh Tamiang dan kantor BPN Aceh Tamiang. Ke Komnas HAM juga sudah pernah dibawa," kata Yati.

Untuk aksi, katanya, warga bahkan menjual aset desa untuk biaya prasarana dan sarana, namun persoalan urung selesai.

Status desa Perkebunan Sungai Iyu masih was-was. Perusahaan memang belum menunjukkan sikapnya untuk mengusir warga, namun upaya itu masih terus dilakukan dengan melibatkan pihak kabupaten setempat, ungkapnya.

Saat ini Yati disibukkan dengan diskusi bulanan bersama ibu-ibu di desa tempatnya tinggal. Diskusi rutin yang dilakukan oleh Yati, selain sebagai upaya yang disebutnya untuk "memperkuat basis perlawanan", terhadap PT Rapala, juga sebagai wadah pencerahan, terutama dalam menyuarakan kesetaraan gender.

"Kita harus sadar, hak kita sebagai perempuan apa, juga harus sadar bahwa, perempuan memiliki kesempatan yang sama dengan laki-laki," ucapnya.

Kegiatan diskusi rutin ini telah setahun lebih dijajaki oleh Yati, semenjak dirinya dibebankan tugas sebagai seorang paralegal (pendamping masyarakat) di desanya.

Yati didapuk sebagai paralegal oleh salah satu lembaga bantuan hukum yang ada di Aceh.

"Kebetulan saya dipercaya oleh LBH Banda Aceh sebagai paralegal. Dengan LBH kita sudah lama saling kenal. Kebetulan sering didampingi, dulu pas demo-demo," kisah ibu dua anak yang mengaku sempat mengenyam pendidikan di SMEA Langsa namun tidak selesai.

Sebagai paralegal,  pada awalnya Yati mengaku banyak menemui tantangan-tantangan. Khususnya dari segi pengetahuan. Namun seiring waktu, pengalaman dan kemampuan Yati kian bertambah. Ia mengaku semakin menikmati profesi yang sedang digelutinya.

"Kalau dulu kan agak tidak terlalu berani, sekarang alhamdulillah lebih berani, memimpin rapat misalnya, atau bicara di depan orang-orang besar. Yang penting kita ikhlas berjuang. Ya agar tanah atau tempat tinggal kita jelas statusnya," lanjut dia.

Benar saja, perempuan yang kesehariannya berkebun ini, pada Maret lalu, diberi kesempatan untuk berbicara di dihadapan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Siti Nurbaya Bakar. Yati mewakili rekan-rekan pejuang sumberdaya alam dari Aceh.

"Langsung di depan ibu menteri, di gedung KLKH Jakarta. Saya jelasin ke ibu menteri tentang kasus tanah kita yang diambil oleh PT Parasawita atau sekarang berubah Rapala," kenangnya seraya mengatakan, bahwa ia berterima kasih, karena teman-teman seperjuangannya dari wilayah lainnya di Aceh mau mempercayainya berbicara di hadapan sang menteri.

"Iya, padahal banyak kawan-kawan dari dari seluruh Aceh yang ikut," imbuhnya merendah.

Namun, bagi Yati, semua tak berhenti sampai disitu. Banyak rintangan yang mesti ia hadapi kedepannya. Terlebih apa yang dicita-citakannya belum terwujud.

Bagi Kak Yati, sengketa penguasaan lahan antara Desa Perkebunan Sungai Iyu dengan PT Rapal telah berdampak pada kondisi ekonomi, sosial dan pendidikan penduduk setempat.

"Anak-anak yang dulunya bersekolah di SD Swasta Perkebunan Sungai Iyu yang sekarang telah menjadi gudang pupuk milik PT Rapala. SD tersebut sudah tidak berfungsi lagi karena sangat sedikit murid yang bersekolah di SD tersebut.
Murid yang bersekolah di SD Swasta Perkebunan Sungai Iyu dipindahkan ke SD di kampung Marlempang Aceh Tamiang dengan jarak tempuh menggunakan sepeda motor roda 2 selama 15 menit," Yati mengeluh sementara tampak dari raut wajahnya rasa kesal yang menggumul.

Masyarakat saat ini resah atas intruksi PT Rapala dikarenakan masyarakat yang tinggal di perumahan tersebut tergolong masyarakat miskin yang tidak memiliki tinggal.

Sementara, menurut keterangan Yati, Desa Perkebunan Sungai Iyu diakui keberadaannya oleh Pemerintah Republik Indonesia. Keberadaan desa tersebut jauh sebelum diterbitkannya HGU PT Parasawita yang pertama di tahun 1973 dan perpanjangan ditahun 1990.

Karenanya, perusahaan tidak memiliki hak mengambil bahkan mengusir warga Sungai Iyu dari desa mereka tersebut, tantangnya.

Sore itu, Yati menutup kisahnya dengan kalimat "Soal tanah, adalah soal darah. Ini masalah kehidupan kami yang hendak dirampas Rapala. Perjuangan tak akan berhenti sampai disini,"

Komentar

Loading...