YPAP Perna temukan lima kasus HIV-AIDS Dikalangan LGBT

Oleh
Ilutrasi

Lhokseumawe, Asatu.top  - Yayasan Peduli Permata Atjeh (YPAP) perna menemukan kasus lima kasus HIV-AIDS yang diderita LGBT tahun 2014 silam, yaitu di kabupaten Bireuen, Lhokseumawe, Aceh Utaran dan Bener Meriah.

"Mereka juga ada yang tersandung masalah narkoba, ada yang masih menjalani hukum penjara, ada yang sudah bebas," jelas Chaidir Direktur YPAP melaui siaran persnya

TPAP selama ini aktif mendampingi penderita HIV-AIDS dari berbagai kalangan termasuk terhadap lesbian, Gay, Biseksual dan Transgender (LGBT) di Aceh.

Chaidir menyebutkan, pihaknya telah melakukan upaya untuk memutus mata rantai penularan penyakit berbahaya itu, antara lain pemeriksaan Viral Load, pendampingan pengobatan IMS (infeksi Menularseksual) dan pendampingan ARV (Obat HIV).

Chaidir mengatakan, dalam pelaksanaanya YPAP menggandeng Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Provinsi dan Daerah, Dinas Kesehatan, dan Rumah sakit layanan VCT/CST, Puskesmas VCT. VCT adalah metoda afekti deteksi dan pencegahan untuk HIV-AIDS.

Kemudian rutin mensosialisasi bahaya HIV/AIDS dan narkoba terhadap LGBT, agar mengerti dan paham bahwa melakukan orientasi seksual menyimpang adalah salah dan sangat berbahaya bagi kesehatan mereka sendiri.

Menurut Chaidir, homo seksual adalah salah satu dari delapan jenis kelainan seks menyimpang, dapat menular dengan beberapa sebab, antara lain akibat pengaruh lingkungan, rasa trauma atau sensasi dari tayangan pornografi. Namun ada juga sifat kemayu (lemah lembut) dari lelaki akibat faktor hormon wanitanya lebih dominan dari hormon lelaki.

"Kehadiran LGBT sangat mempengaruhi kehidupan sosial masyarakat, namun kehadiran mereka juga tidak lepas dari adanya konsumen (pemakai) atau pasangan untuk melakukan orientasi seksual. dan pasangan mereka bisa dari kalangan manapun," terangnya.

Di Aceh, katanya prilaku orientasi Homoseksual seperti gay banyak terjadi di kalangan remaja dan Jumlahnya lebih besar dari komunitas waria. Keberadaan dan aktivitas mereka sulit dideteksi, bahkan tidak terlihat sama sekali.

"Waria bisa terlihat dari cara mereka berpakaian, memakai make up dan hal-hal cenderung kewanita wanitaan. Namun Gay dan Lesbian sangat sulit kita kenali, karena mereka berperilaku sehari-hari layaknya pria dan wanita normal, mereka sangat tersembunyi," jelasnya.

Sejak tahun 2010 sampai 2018, yayasan yang berkantor pusat di Lhokseumawe itu sudah membina 30 persen komunitas LGBT yang ada di Aceh, namun hanya sebagian kecil yang berhasil dibina dan sudah menjalani kehidupan normal.

"Hanya 10 persen dari jumlah LGBT yang kita bina pulih dan berhasil menjalani kehidupan normal. kendalanya, harus ada lapangan kerja yang berkesimbungan terhadap mereka yang berperilaku seks menyimpang tersebut, kalau tidak paling bertahan tiga tahun, setelah itu mereka kembali ke lingkungan semula," tulis Chaidir.

Ia berharap ada upaya serius dari pemerintah yang lebih pro aktif dengan melibatkan komponen tokoh agama, TNI/Polri, LSM, media massa,organisasi masyarakat, termasuk organisasi kesiswaan untuk membangun satu sistem yang kuat untuk menangkal perilaku sek menyimpang itu, HIV-AIDS dan peredaran narkoba.

"Seharusnya sudah ada kurikulum narkoba dan HIV/AIDS di sekolah sehingga mereka mengerti apa yang terjadi di masa depan karena dua virus ini, jika pemerintah diam maka akan lahir generasi rusak moral dan agama," jelasnya.

Untuk diketahui tambah Chaidir, kasus HIV di Aceh terus naik, tahun 2016 mencapai 499 kasus HIV. YPAP mencatat HIV/AIDS di Aceh banyak diderita kalangan ibu rumah tangga dan anak-anak, mirisnya lagi di beberapa daerah belum ada layanan HIV/AIDS baik fasilitas dan SDM.

“Salah satu strategi baru yang kini sedang dijalankan, adalah membentuk Komunitas Warga Peduli AIDS dan Narkoba di dua gampong di Bireuen dan kota Lhokseumawe. Strategi inisangat baik untuk memutus mata rantai penularan HIV-AIDS, LGBT dan Narkoba di desa-desa,” imbuhnya.

Komentar

Loading...