Sejarah Para Datuk Masuk Wilayah Aceh Barat

Oleh
Ilutrasi

MENURUT Dadek & Hermansyah (2013, h. 21), terdapat beberapa versi keberadaan para datuk yang berasal dari Sumatera Barat (Minangkabau) di Meulaboh.

Sumber-sumber tersebut memiliki argumennya masing-masing, sesuai dengan referensi masing-masing pula.

Dalam hal ini, juga belum dapat diambil satu gambaran yang utuh mengenai penduduk Aceh Barat, termasuk asbab dan periodenisasi-nya.

Ada yang menyebutkan meigrasi terjadi akibat invansi kerajaan, dan juga pola hidup masyarakat yang suka berpindah-pindah (nomaden). Namun beberapa penelitian terakhir menyimpulkan migrasi terjadi akibat bencana alam, salah satunya tsunami (smong).

Masih dari sumber yang sama, disebutkan, secara historis telah terbangun hubungan yang cukup lama antara Aceh dan Minangkabau, baik itu secara kultural maupun political. Salah satunya ekspedisi Kesultanan Aceh ke Pasaman, Sumatera Barat oleh Sultan Iskandar Muda sekitar tahun 1613 M (1021 H), salah satu utusan Sultan untuk menjadi perwakilan di tanah Minang adalah Teuku Laksamana Nanta, yakni Panglima Perang Angkatan Aceh yang menjadi Gubernur Militer, kemudian ia menikah dan menetap disana.

Peran mereka saat itu sempat tereduksi dengan adanya reformasi yang dilakukan kaum ulama yang terpengaruh paham salafus salih atau yang dikenal dengan penyebutan wahabi oleh banyak orang, yang saat itu menentang pemikiran tradisionalis.

Saat itu, kekuasaan keturunan para datuk tersebut mulai terusik di tanah Andalas dimana kelompok Padri saat itu mulai melakukan gerakan pembaruan Islam bermanhaj salaf yang saat itu diinisiasi oleh para pelajar (intelektual) Sumatera Barat yang baru pulang dari Jazirah Arab. Diantara para tokoh intelektual yakni, H. Piobang, H. Miskin, dan H. Sumanik.

Gejolak yang terjadi antara kelompok pembaru dan tradisionalis saat itu sempat menimbulkan keresahaan di Aceh (khususnya di tempat para utusan dari Sumatera Barat), diantaranya mengenai furu’iyyah ibadah masyarakat.

Akan hal ini, dan demi menhindari anasir-anasir yang tidak diharapakan, maka para datuk tersebut memilih untuk kembali ke kampung halaman (Sumatera Barat) atau hijrah ke daerah lain.

Disebutkan, pada awal-awal kedatangannya, para muhajirin (para datuk di Aceh) saat itu cukup mampu berbaur dan hidup tentram di antara komunitas masyarakat Aceh saat itu. Di kemudian hari, sebagian dari mereka ada yang menjadi pemimpin di komunitas tersebut.

Mereka-mereka yang berhasil ini dikatakan memiliki pengaruh yang cukup besar dalam penataan masyarakat di periode berikutnya, seperti Datuk Machadum Sakti dari Rawa, Datuk Raja Agam dari Luhak Agam, Datuk Raja Alam Song-Song Buluh dari Sumpur serta Datuk Janggut Ameh yang kemudian diberi tempat di Merbau atau yang kita kenal Meureubo saat ini (Dadek & Hermansyah 2013, h. 23).

Menurut H. M Zainuddin, ketiga datuk utama tersebut juga memerintahkan warganya untuk membuka ladang dan menanam tumbuh-tumbuhan jangka pendek untuk kehidupa mereka sehari-hari sehingga daerah tersebut menjadi makmur.

Diceritakan, suatu hari ketiganya datuk itu sepakat untuk menemui Raja Aceh, Sultan Mahmud Syah atau dikenal dengan sebutan Sultan Buyung (1586-1588 M) untuk memperkenalkan diri.

Ketika menghadap Sultan, masing-masing datuk membawakan satu kotak emas urai sebagai hadiah, yang saat itu merupakan tradisi di kerajaan dalam persembahan kepada raja-raja.

Para datuk ini meminta kepada Sultan Buyung agar memberikan batas-batas negeri dan permintaan tersebut dikabulkan. Ditambahkan, selain mengabulkan permintaan rombongan para datuk itu, Sultan juga mengangkat mertua dari Datuk Radja Alam Song-Song Buluh menjadi uleebalang Meulaboh, yang menurut Dadek dan Hermansyah (2013) adalah Pho Rahman.

Para datuk ini juga secara continue mengirim upeti kepada Sultan tiap tahunnya, namun karena merasa keberatan untuk menyetor (kemungkinan karena jarak saat itu) langsung, para datuk ini meminta kepada Sultan Aceh yang baru, Sultan ‘Alauddin Muhammad Syah (1795-1824) agar menempatkan salah seorang perwakilan kerajaan di Meulaboh, sehingga pemberian upeti lebih mudah.

Permintaan para datuk ini dipenuhi oleh Sultan. Adapun perwakilan kerajaan yang saat itu ditempatkan di Meulaboh ialah Teuku Chik Purba Lela sebagai wazir pemerintahan Kesultanan Aceh dan sebagai penerima upeti dari para uleebalang Meulaboh.

Hubungan erat terus terjalin antara kedua daerah tersebut, mereka (pimpinan) pun di wilayah Meulaboh kemudian kembali meminta kepada Sultan agar mengirim satu wakilnya untuk mengurus perkara adat dan pelanggaran dalam negeri di tempat mereka. Saat itu Sultan Aceh mengirim penghulu Sidik Lila Digahara yang menyidik segala hal yang berkaitan dengan pelanggaran undang-undang (peraturan) yang terjadi di wilayah itu.

Di periode berikutnya, para pimpinan uleebalang dan ulama serta petinggi lainnya meminta agar Sultan Aceh yang baru, Ibrahim Alauddin Mansyur Syah (1857-1870) mengirimkan seorang ulama yang akan mengatur perkara-perkara yang berkenaan dengan pernikahan, pasakh dan hukum syariat.

Maka dikirimkanlah ke sana Teuku Tjut Din, seorang ulama yang bergelar al-mu’tasim billah untuk menjadi qadhi perwakilan Kesultanan Aceh di Meulaboh. Keturunan dari Teuku Tjut Din ini adalah Teuku Alaidinsyah yang pernah menjabat sebagai Bupati Aceh Barat periode 2011-2017 dan Teuku Dadek yang saat ini adalah Kepala Bappeda Aceh Barat.

Komentar

Loading...