Jalan Kontroversial Jenderal Gatot

Oleh
Foto : Ist

Asatu.top - MENCUATNYA nama Jenderal Gatot Nurmantyo dalam bursa calon presiden dan wakil presiden menambah hangat jagat politik. Ia bisa menjadi pilihan alternatif di luar calon presiden inkumben Joko Widodo dan figur lama Prabowo Subianto. Hanya, kemunculan Gatot belum mampu menyelesaikan kemandekan demokrasi yang disebabkan oleh makin langkanya ide perubahan dan minimnya tokoh yang benar-benar inspiratif.

Jenderal Gatot, yang pensiun pada akhir Maret lalu, dijagokan antara lain oleh Partai Gerakan Indonesia Raya. Mantan Panglima Tentara Nasional Indonesia ini dipertimbangkan menjadi calon wakil presiden mendampingi Prabowo. Nama lain yang ditimang-timang Gerindra adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Kasak-kusuk di kubu penantang Jokowi ini masih akan terus berlangsung. Apalagi belum ada kepastian apakah Prabowo akan serius maju lagi.

Belakangan, muncul pula gagasan memasangkan Gatot dengan Anies jika Prabowo tidak mencalonkan diri lagi. Kemungkinan seperti itu bisa membuat pertarungan dalam pemilihan presiden 2019 lebih menarik, kendati Gatot sejauh ini belum mampu menawarkan gagasan orisinal untuk membenahi negara ini.

Gatot justru terkenal karena sikapnya yang kontroversial. Sebagai Panglima TNI, ia pernah mengungkap isu impor senjata "ilegal", urusan yang memperuncing friksi TNI-Kepolisian RI. Soalnya, impor senjata itu ternyata dilakukan secara resmi oleh Kepolisian kendati tak ada rekomendasi dari TNI. Ia mengusulkan TNI terlibat dalam penanganan terorisme dalam revisi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003. Ia juga pernah memerintahkan tentara memutar Penumpasan Pengkhianatan G 30 S PKI-film yang sejak awal reformasi sudah dihentikan pemutarannya karena merupakan propaganda Orde Baru.

Ketika Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok diguncang tuduhan penistaan agama pada akhir 2016, Gatot diyakini ikut "bermanuver". Ia satu-satunya pejabat yang menemui demonstran 212 dengan memakai peci putih. Langkah ini dinyatakan Gatot sebagai upaya menaklukkan hati pemrotes, meski di pihak lain dipercaya sebagai keberpihakan Gatot pada para demonstran. Langkah ini mudah dibaca sebagai upaya Gatot mengumpulkan modal politik dari pemilih muslim. Sebagai Panglima TNI, tidak etis bila ia bermain politik.

Sikap Gatot menggunakan politik identitas layak dipertanyakan. Resep ini memang mujarab dalam kasus pemilihan Gubernur DKI Jakarta. Ahok, yang sebelumnya amat populer, tidak hanya kalah, tapi juga masuk penjara. Namun sungguh berbahaya jika Gatot tertarik untuk mengeksploitasi strategi serupa dalam pemilihan presiden mendatang. Politik identitas hanya akan memecah belah bangsa dan tidak relevan dengan persoalan nyata yang dihadapi republik ini.

Gatot, yang mengakui bersahabat dengan pengusaha Tomy Winata, boleh jadi tidak sulit mendapatkan dukungan dana untuk berlaga dalam pemilihan presiden. Tapi kehadirannya dalam politik belum bisa disejajarkan dengan Susilo Bambang Yudhoyono pada 2004. Jauh sebelum menantang calon inkumben Megawati Soekarnoputri, Yudhoyono telah menyiapkan Partai Demokrat sebagai kendaraan politik. Sebagai sosok militer, ia juga menawarkan kepemimpinan yang lebih lugas dan pengelolaan negara yang lebih terencana-hal yang menjadi titik lemah pemerintahan saat itu.

Prabowo, yang menjadi pesaing utama Jokowi pada pemilihan 2014, menempuh jalan serupa. Bertarung dalam pemilihan presiden 2009 dengan menjadi calon wakil presiden mendampingi Megawati, sebelumnya ia mendirikan Partai Gerindra. Pengalaman dan modal politik seperti ini belum dimiliki Gatot.

Jenderal Gatot muncul justru di tengah kejumudan demokrasi. Mekanisme politik ini gagal melahirkan pemimpin yang benar-benar berkualitas dan memiliki gagasan baru dalam membenahi negara. Padahal masalah yang dihadapi bangsa ini sungguh banyak, seperti korupsi yang masih merajalela, kesenjangan sosial, dan pertumbuhan ekonomi yang stagnan.

Para penyelenggara negara semestinya menyadari penyebab situasi politik yang membosankan ini. Aturan presidential threshold yang mereka buat berdampak buruk karena memperkecil jumlah tokoh yang berlaga dalam pemilihan presiden. Hanya partai politik atau gabungan partai politik dengan 20 persen kursi Dewan Perwakilan Rakyat atau 25 persen suara nasional yang bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden.

Aturan itu memasung demokrasi. Saat ini, kemunculan penantang calon inkumben hanya bisa diharapkan dari partai seperti Gerindra dan Partai Keadilan Sejahtera karena partai-partai lain telah merapat ke kubu Jokowi. Jumlah calon penantang pun bisa dihitung dengan jari. Dalam kelesuan demokrasi seperti inilah nama Gatot mencuat-sosok kontroversial dengan kepemimpinan yang belum teruji.

Komentar

Loading...