Asal Kata “Meulaboh”

Oleh
Ilustrasi, (Foto: Rino)

MENURUT Zainuddin dalam karyanya Tarich Atjeh dan Nusantara, kata Meulaboh berasal dari ungkapan orang Minangkabau, dan sebelumnya dinamai dari Negeri Pasir Karam (Pasie Karam).

Penggunaan istilah “Pasie Karam” diakibatkan wilayah tersebut pernah dilanda gempa dan tsunami tempo dulu, sehingga daerah pesisir pantai saat itu karam akibat tsunami, dan terjadi migrasi penduduk dari pinggiran pantai menuju pedalaman.

Negeri ini dibangun kembali pada masa Sultan Alaidin Riayat Syah IV Saidil Mukammil (1588-1604), dan pada masa Kerajaan Aceh diperintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636) negeri itu ditambah pembangunannya.

Setelah kedatangan orang-orang dari Pidie dan Aceh Besar, daerah yang alamnya memang sedang membutuhkan sumber daya manusia ini kedatangan orang-orang dari Minangkabau, yang diduga kuat merupakan para pelarian dari negeri yang saat itu sedang pecah Perang Padri (1805-1836).

Saat itu, para perantauan yang tiba di teluk Pasir Karam sepakat untuk berlabuh di tempat itu. “Di sikolah kito barlaboh,” Zainuddin menambahkan, semenjak itulah, menurut versi Zainuddin, Pasir Karam dikenal dengan sebutan Meulaboh seperti saat ini.

Padahal kata laboh berasal dari Bahasa Aceh yang sudah lazim diucapkan oleh Masyarakat Aceh sebagai kata kerja (verb) yang artinya, membuang, melemparkan, menjatuhkan, jatuh, turun, bergantungan-rendah (lihat Kamus Aceh-Indonesia karya Aboebakar Atjeh dkk).

Berdasarkan hal ini, dapat disimpulkan bahwa kata laboh, laboo, atau melaboh bukanlah kata baru, juga bukan kata pinjaman dari suku kata lain yang disanding bersama Bahasa Aceh.

Apabila peristiwa di atas menjadi referensi, maka terdapat beberapa paradoks dalam sejarah, sebab Kesultanan Aceh muncul di level internasional setelah jatuhnya Malaka ke tangan Portugis pada tahun 1511.

Tahun-tahun berikutnya, Kesultanan Aceh mulai menunjukkan jati dirinya dari negeri-negeri lainnya dan semakin mencapai puncak kejayaan sebelum kembali tenggelam pasca Sultanah. Dan kata “laboh” sudah dikenal di Masyarakat Melayu-Nusantara, jauh sebelum julukan itu diberikan oleh para musafir Minangkabau.

Kita tidak memungkiri adanya bencana tsunami (smong) yang pernah terjadi di Aceh beberapa abad lalu dengan skala yang berbeda-beda. Hasil penelitian terkini menunjukkan bahwa Meulaboh bukan hanya sekali dilanda tsunami.

Dalam sebuah report penelitian Coastal Prodagation Patters As A Potential Tool Inseismic Hazard Assesment menyimpulkan bahwa tsunami pernah terjadi beberapa kali di perairan Meulaboh (Aceh Barat) dengan perkiraan waktu antara tahun yang berbeda, sesuai dengan ditemunkannya deposit tanah bekas tsunami.

Penelitian ilmiah dan lapangan tersebut semakin mendukung catatan-catatan gempa dalam manuskrip di Aceh, misalnya di bulan Sya’ban 1211 (Februari 1797) gempa 8,4 Skala Richter di perairan Laut Hindia tepatnya Mentawai dan Padang menimbulkan tsunami yang melanda pesisir pantai barat Sumatera.

Di dalam catatan sampul manuskrip Tanoh Abee disebut “...al-zalzalah asy-syadidah at-tsaniyah” (gempa besar kedua kali), Kamis 9 Jumadil Akhir 1248 H/3 November 1832 M. Lima tahun kemudian (September 1837) pada periode Sultan Muhammad Syah (1824-1838), Belanda mencatat kembali gempa yang tejadi di Aceh dan epicenter di perairan barat Aceh.

Di abad yang sama, pada 1861 terjadi gempa tektonik di Kota Singkil, menghancurkan infrastruktur Belanda yang dibangun pada tahun 1852. Demikian, bisa jadi, tahun inilah yang dimaksud Pasir Karam oleh Zainuddin karena berulang kali terjadi gempa dan smong berulang kali di perairan Aceh.

Sumber luar (asing) menampilkan banyak referensi dan beragam, baik diperoleh dari catatan penjelajah asing di Aceh ataupun dari hasil penelitian akademik. Di kawasan Teluk Barat Aceh disebut-sebut dalam sumber-sumber Arab, Cina dan Eropa sebagai pusat perdagangan penting.

Tempat ini banyak dikunjungi para pedagang dari Timur Tengah, Gujarat dan kawasan Asia Tenggara. Salah satu pelabuhannya disebut Nalaboo, atau Meulaboh. Sementara, catatan Meilink-Roelofzs menyatakan tahun 1526 M sebagai waktu pertama tercatat bagi kemunculan kapal Aceh yang membawa rempah-rempah mengarungi Laut Arab menuju Jeddah.

Pada tahun berikutnya, secara berurut 1555, 1559, 1565, 1566 kapal-kapal Aceh melintasi Lautan India dan berlabuh di jeddah walaupun harus melewati hadangan dan jarahan Portugis di tengah lautan lepas.

Dalam perjalanan Augustin De Beaulieu tahun 1621 ke Aceh dan Sumatera disebutkan bahwa diantara pelabuhan-pelabuhan yang terdapat di bagian pantai barat Kerajaan Aceh diantaranya yang dikenal dengan nama Labo, kemudian menjadi nama Meulaboh. Hal ini berarti bahwa LaboNalaboo atau yang dimaksud Meulaboh sudah eksis sejak (sebelum) abad ke-17 M.

Lem Kam Hing dalam penelitian menyebut Analabu (Meulaboh) sebagai transito antara Banda Aceh menuju Barus, Singkil dan sekitarnya. Kata Analabu sesuai dengan apa yang terungkap dalam sketsa lukisan peta (manuskrip) yang digambar langsung dengan tangan Kapten Samuel Ashmore pada 1821 yang kini dikoleksi New York Gallery, yang mencatat bahwa nama Meulaboh adalah Analabou.

Penyebutan Analabu atau Analabou di periode ke-18 Masehi dalam beberapa kajian ditemukan perbedaan dengan periode sebelumnya, dimana lebih awal menggunakan kata Labo seperti yang terungkap dalam catatan Beaulieu atau lainnya.

Penelitian Dasgupta menyebut “The late conquest of” Iskandar Muda, Labo, Singkel, Barus, Batahan, Pasaman, Tiku, Pariaman, and Padang-all on the west coast Sumatera”. Sebelumnya, kesuksesan perluasan wilayah kerajaan tersebut telah diraih pada era Sultan ‘Alauddin al-Qahhar, yang mengikrarkan dirinya sebagai penguasa di Aceh, Barus, Pedir, Pasee, Daya, Batta (Batak), penguasa di darat dan dua samudera, dan wilayah Minangkabau.

Sumber: T. Dadek & Hermansyah. 2013. Meulaboh dalam Lintas Sejarah Aceh. Bappeda Aceh Barat. h. 2-10.

Komentar

Loading...